Kenapa Pajak di Indonesia Harus Ribet dan Susah?



02 September 2016 Oleh Ted

Satu kata mengenai Pajak di Indonesia: RIBET!... pake banget.... hmmm... mungkin orang boleh bilang sayanya saja yang malas untuk belajar pajak, malas untuk meluangkan waktu, or you can call me stupid, dsb. Tapi sebagai manusia yang banyak kerjaan (sok sibuk), jujur saja saya begitu emosi saat coba mengerti perpajakan di Indonesia. (emosi karena telmi - telat mikir alias ga mudeng2 )

Kenapa? karena semuanya pakai Pasal, Pakai Nomor dan lebih parah lagi sering pakai Singkatan-singkatan! DJP, PPKP, SKPKBT, SKPKB, dll - apa sobat tahu itu singkatan apa? Bisa dibilang saya ini menggunakan bahasa manusia sedangkan bahasa perpajakan adalah bahasa dewa.

Loh, kok jadi curhat begini? he he sorry, saya cuma terbawa emosi karena begitu pusing dan mumet berusaha mengerti sedikit tentang perpajakan. Tapi saya apresiasi DJP (Singkatan Direktorat Jendral Pajak) yang semakin hari berusaha lebih baik dengan memudahkan masyarakat bayar pajak. Semoga terus lebih baik lagi.

Satu hal yang saya minta: GUNAKAN BAHASA MANUSIA. Maksudnya gunakan bahasa sesederhana mungkin, ga perlu pakai pasal-pasal atau keterangan pasal diinformasikan kecil saja dan dibelakang.

Banyak kok badan independen yang membuat istilah pajak bisa jadi lebih mudah mengerti. Saya beri contoh: misalnya untuk pengisian Formulir SPT1770, tertulis:

"DARI USAHA/PEKERJAAN BEBAS YANG MENYELENGGARAKAN NORMA PENGHITUNGAN PENGHASILAN NETO..."

Itu maksudnya apaaaa?????? Norma iku opo? nama orangkah? okelah saya bisa dengan mudah cari informasinya di internet biar mengerti, tapi bagaimana dengan yang di desa-desa dengan akses internet sulit?

Kenapa ga dibikin sederhana aja, misalnya formulir "ini" adalah untuk orang yang digaji oleh perusahaan atau oleh bos, lalu beri contoh: misalnya untuk karyawan, dsb. Kalau formulir "itu" adalah untuk pedagang, dsb.

Memang saat ini saya setidaknya sudah dapat sedikit "pencerahan" mengenai perpajakan, tapi belum tuntas dan itu juga setelah menghabiskan waktu berjam-jam dan menghabiskan kuota internet yang tidak sedikit (untuk menonton video tentang Tax Amnesty, info perpajakan, dsb).

Tapi, saya bisa mengerti (sedikit... banget...) karena saya memiliki:

  1. Keinginan & Kesadaran
  2. Waktu
  3. Kemampuan menggunakan internet + menggunakan kata kunci yang tepat + kejelian dalam memilih website yang tepat (bukan website jebakan bet men / website abal-abal)
  4. Koneksi internet yang cepat (plus kuota)

Lah kalau orang-orang di pedesaan atau daerah terpencil dengan koneksi internet yang sulit, apakah mungkin mengerti perpajakan? Mungkin saja sih mengerti, tapi harus banyak berkorban (waktu, biaya, pikiran, uang-misalnya untuk pergi ke kantor pajak terdekat, dll).

Jangan anggap sepele hal ini, karena ada empat tipe orang di Indonesia berhubungan dengan perpajakan:

  1. Orang yang SANGAT sadar pajak > orang macam ini biarpun proses perpajakan sangat ribet dan menggunakan bahasa dewa langit ketujuh, dia tetap setia bayar pajak. Bahkan kalau perlu sampai kuliah perpajakan biar bisa mengerti. Salut gw sama orang tipe ini (seriusan).
  2. Orang yang SADAR Pajak (dan sadar ingin berkontribusi untuk negara) > orang macam ini pada dasarnya mau bayar pajak, mau belajar sedikit2 tentang pajak. Tapi kalau sudah pusing dan tidak mengerti tentang pajak, akhirnya dia bayar pajak "asal-asalan" alias pikirnya, yah yang penting udah bayar, itu cukup kan. Atau kalau saat dia mau patuh bayar pajak tapi lalu terbentur dengan proses yang ribet dan bikin pusing, bisa jadi dia tidak akan bayar pajak lalu berpikir "yah daripada bayar pajak, mending saya beri kontribusi langsung saja ke lingkungan sekitar atau lewat zakat, dsb". Ini kejadian nyata dan saya kenal beberapa orang baik yang tadinya mau bayar pajak tapi ga jadi karena terlalu ribet.
  3. Orang yang SEDIKIT Sadar Pajak > Orang macam begini pada dasarnya ada sedikit kesadaran mau bayar pajak, tapi kalau tahu prosesnya ribet dan harus mengantri lama, atau harus sabar kalau e-billing (internet) lagi lemot, sudah pasti orang macam ini akan tidak mau bayar pajak atau langsung "menyerah" untuk bayar pajak.
  4. Orang yang TIDAK MAU bayar pajak > yah kalo orang seperti ini sih mau prosesnya semudah apa pun juga pasti tidak akan bayar pajak alias selalu berusaha berkelit.

Saya berharap DJP (hayooo... masih inget ga ini singkatan apa?) bisa semakin berbenah diri dan memudahkan masyarakat Indonesia untuk bayar pajak. Karena banyak sekali masyarakat yang ingin bayar pajak tapi jadi undur diri karena prosesnya terlalu susah dan memakan WAKTU serta PIKIRAN.

Tidak semua orang memiliki waktu untuk akses internet apalagi datang ke kantor pajak. Jika ingin menarik orang Indonesia untuk taat bayar pajak, gunakanlah setidaknya dasar prinsip ekonomi (karena ini berhubungan dengan uang).

Sekarang coba kita lihat dari segi prinsip ekonomi:

Misalnya ada seorang Dokter, kalau dia praktek sehari bisa dapat uang 2 juta. Tapi dia harus pergi ke kantor pajak untuk urus perpajakan > artinya dia tidak praktek > tidak dapat uang 2 juta > malah harus mengeluarkan uang untuk bayar pajak.

Secara prinsip ekonomi, apakah sang Dokter mau datang ke kantor pajak untuk mengurus perpajakan? kemungkinan tidak.

Jangan gunakan alasan moral, sebab bisa saja saat si Dokter ditanya "kenapa ga urus pajak?" Dia bisa saja menjawab "Saya lebih baik membantu pasien saya yang sakit daripada harus menghabiskan waktu berjam-jam, bahkan berhari-hari untuk urus pajak. Lagi pula walau saya tidak bayar pajak, tapi saya banyak memberi sumbangan ke orang-orang." Mau bilang apa kalau begini?

Tapi beda halnya kalau seandainya prosesnya lebih mudah. Misalnya ada aplikasi pajak yang terinstall di ponsel sang Dokter. Kalau mau bayar pajak tinggal klik-klik lalu transfer, beres. Saya yakin sang Dokter yang baik hati itu akan mau taat bayar pajak. Bahkan kalau perlu bikin bonus atau privilege bagi penyumbang pajak, misalnya bonus nonton gratis atau voucher belanja bagi yang menyumbang pajak sekian, dsb. Be Creative lah.

Kalau kasarnya sih (walau ini tidak tepat), Negara yang butuh, kenapa kita yang harus repot dan pusing-pusing.

Sekali lagi, saya katakan kalimat barusan tidak tepat, karena kita seharusnya berkontribusi bagi pembangunan negara dengan taat bayar pajak. Tapi kalau Negara atau DJP (singkatan Direktorat Jendral Pajak - kali aja ada yang lupa) memandang dari sisi itu, bahwa DJP yang membutuhkan masyarakat, maka pasti akan semangat untuk menarik sebanyak-banyak orang dengan cara yang kreatif untuk mau membayar pajak.

Saya menulis artikel ini karena.... curhat aja sih ha ha ha karena kemarin saya "membuang" waktu berjam-jam untuk bisa mengerti perpajakan (karena lagi ramai tentang Tax Amnesty dan tagar #stopbayarpajak), sekaligus memberi saran kepada DJP.

Saya sangat mengapresiasi terobosan-terobosan yang dilakukan oleh DJP, diantaranya melalui Kring (Call Center) Pajak, e-billing, SMS ID Billing (saat artikel ini ditulis hanya khusus untuk Pengguna Telkomsel, semoga nanti bisa untuk operator yang lain), dll.

Kepada rekan-rekan di perpajakan, tetap semangat untuk membuat terobosan-terobosan baru. Saya tahu membenahi sistem yang sudah berjalan bertahun-tahun tidak lah mudah. Dan pasti kamu harus sering menghadapi cacian, makian dan hinaan dari orang yang emosi. Sabar aja ya bro & sis, ga perlu dimasukin hati, dikedipin aja sambil disenyumin Mereka tidak marah kepada bro / sis, mereka hanya "unhappy" dengan sistem perpajakan saat ini.

Bagi orang-orang di perpajakan yang kerjanya malas-malasan dan tidak melayani sepenuh hati, sebentar lagi lo juga bakal dikeluarin Gw harap sih secepatnya.

Akhir kata, cuma satu yang paling penting yang saya minta kepada DJP:

GUNAKAN BAHASA YANG SESEDERHANA MUNGKIN

Artikel terkait: Tax Amnesty itu Apa? Buat Siapa? Apa Harus?

, dan juga Channel YouTube kami. Tujuannya biar kamu gampang menemukan gadoga.com, mungkin suatu saat kamu akan membutuhkannya Gratis kok sob!






Jika dirasa artikel ini berguna, silahkan di share / dibagikan

Kembali ke atas 🚀

©2009-2023 gadoga.com - V2.2.6.luF
Disclaimer | Kebijakan Privasi